Pengunjung

Selasa, 13 Desember 2011

Amorphophallus titanum





Amorphophallus titanum
Bunga bangkai atau suweg raksasa atau batang krebuit (nama lokal untuk fase vegetatif), Amorphophallus titanum Becc., merupakan tumbuhan dari suku talas-talasan (Araceae) endemik dari Sumatera, Indonesia, yang dikenal sebagai tumbuhan dengan bunga (majemuk) terbesar di dunia, meskipun catatan menyebutkan bahwa kerabatnya, A. gigas (juga endemik dari Sumatera) dapat menghasilkan bunga setinggi 5m. Namanya berasal dari bunganya yang mengeluarkan bau seperti bangkai yang membusuk, yang dimaksudkan sebenarnya untuk mengundang kumbang dan lalat penyerbuk bagi bunganya. Banyak orang sering salah mengira dan tidak bisa membedakan bunga bangkai dengan "Rafflesia arnoldii" mungkin karena orang sudah mengenal bahwa Rafflesia sebagai bunga terbesar dan kemudian menjadi bias dengan ukuran bunga bangkai yang juga besar.
Pemerian
Tumbuhan ini memiliki dua fase dalam kehidupannya yang muncul secara bergantian, fase vegetatif dan fase generatif. Pada fase vegetatif muncul daun dan batang semunya. Tingginya dapat mencapai 6m. Setelah beberapa waktu (tahun), organ vegetatif ini layu dan umbinya dorman. Apabila cadangan makanan di umbi mencukupi dan lingkungan mendukung, bunga majemuknya akan muncul. Apabila cadangan makanan kurang tumbuh kembali daunnya.
Bunganya sangat besar dan tinggi, berbentuk seperti lingga (sebenarnya adalah tongkol atau spadix) yang dikelilingi oleh seludang bunga yang juga berukuran besar. Bunganya berumah satu dan protogini: bunga betina reseptif terlebih dahulu, lalu diikuti masaknya bunga jantan, sebagai mekanisme untuk mencegah penyerbukan sendiri. Hingga tahun 2005, rekor bunga tertinggi di penangkaran dipegang oleh Kebun Raya Bonn, Jerman yang menghasilkan bunga setinggi 2,74m pada tahun 2003. Pada tanggal 20 Oktober 2005, mekar bunga dengan ketinggian 2,91m di Kebun Botani dan Hewan Wilhelma, Stuttgart, juga di Jerman. Namun demikian, Kebun Raya Cibodas, Indonesia mengklaim bahwa bunga yang mekar di sana mencapai ketinggian 3,17m pada dini hari tanggal 11 Maret 2004 [2]. Bunga mekar untuk waktu sekitar seminggu,

Selasa, 29 November 2011

Michelia champaca


Nama  : ALI IHSANUL HUDA
NIM   :4103341001

Michelia champaca

Magnolia alba (syn. Michelia alba)
Magnolia alba (syn. Michelia alba)
Kerajaan:
Divisi:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Magnolia L.
Spesies:
Michelia champaca

Michelia adalah salah satu kelompok tumbuhan berbunga anggota suku Magnoliaceae. Sebelum 2000, kelompok ini menyandang posisi takson marga (genus), namun sejak keluarnya hasil kajian molekuler, banyak pihak memasukkannya sebagai salah satu sectio (seksi) dari marga Magnolia.. Berbagai jenis cempaka merupakan anggota-anggotanya yang paling banyak dikenal orang.

Bunga Magnolia champaca.
CIRI-CIRI:
  • Perhiasan bunganya yang tidak tersusun dari mahkota bunga dan kelopak bunga, melainkan dari tenda bunga (tepal)
  • Ujung ranting berambut, daunnya tunggal, tersusun spiral dan berbentuk lanset yang agak melebar.
  • Bentuk buah seperti bola memanjang sedikit bengkok, dengan warna awal hijau kemudian berubah menjadi abu-abu pucat.
  • Bunganya berukuran agak besar dan memiliki keharuman. Bunga muda akan berwarna kuning muda sementara ketika tua, warna bunga akan berubah menjadi oranye tua.
DISRRIBUSI
Kelompok ini beranggota sekitar 50 spesies pohon atau perdu hijau abadi yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis di Asia Selatan dan Asia Tenggara serta Tiongkok selatan

Perubahan pada klasifikasi

Data morfologi dan data molekuler menunjukkan bahwa genus Michelia berkerabat dekat dengan anak marga Yualania daripada anak-anak marga lain anggota Magnolia. Dua kelompok botaniwan terpecah menyikapi hal ini. Kelompok pertama kemudian memasukkan Michelia sebagai anggota Magnolia. Kelompok kedua menjadikan Yualania sebagai marga di luar Magnolia untuk mempertahankan marga Michelia.

Jenis-jenis Michelia

Singkatan "M." dapat dibaca Magnolia ataupun Michelia, tergantung "aliran" yang dianut botaniwan sesuai perkembangan yang ada.
  • M. aenea
  • M. ×alba (syn. M. ×longifolia): cempaka putih, cendana putih, atau kantil.
  • M. angustioblonga
  • M. balansae
  • M. baillonii (syn. Aromadendron spongocarpum, Paramichelia baillonii)
  • M. braianensis
  • M. calcicola
  • M. caloptila
  • M. cavaleriei
  • M. champaca: cempaka wangi atau bungong jeumpa
  • M. chapaensis (syn. M. constricta)
  • M. compressa (syn. M. formosana, M. philippinensis)
  • M. coriacea
  • M. crassipes
  • M. doltsopa (syn. M. manipurensis). Perdu atau pohon yang tinggi hingga 30 meter. Berasal dari pegunungan Himalaya timur dan hutan subtropis Meghalya. Daunnya berwarna hijau tua sepanjang 6 hingga 17 cm. Bunganya berwarna putih krem. Disukai sebagai tanaman pinggir jalan di California.
  • M. elegans
  • M. elliptilimba
  • M. faveolata
  • M. figo: cempaka mulia. Perdu atau pohon pendek yang tumbuhnya lambat. Dapat tumbuh hingga tingginya 5 meter. Daunnya kecil dan bunganya besar, berwarna putih kadang-kadang dengan warna ungu. Bunganya memiliki bau pisang.
  • M. flaviflora
  • M. floribunda
  • M. foveolata
  • M. fujianensis
  • M. fulgens
  • M. fulva
  • M. fuscata
  • M. guangxiensis
  • M. hedyosperma (syn. M. hypolampra)
  • M. ingrata
  • M. insignis. Berasal dari hutan subtropis Meghalya.
  • M. iteophylla
  • M. kisopa. Berasal dari hutan subtropis Meghalya.
  • M. koordersiana
  • M. lacei (syn. M. tignifera)
  • M. laevifolia
  • M. lanuginosa (syn. M. velutina) Berasal dari hutan subtropis Meghalya.
  • M. leveillana
  • M. longipetiolata
  • M. longistamina
  • M. longistyla
  • M. macclurei
  • M. martini
  • M. masticata
  • M. maudiae
  • M. mediocris
  • M. microtricha
  • M. montana
  • M. nilagirica.
  • M. odora (syn. Tsoongiodendron odorum)
  • M. pachycarpa
  • M. platypetala
  • M. polylneura
  • M. punduana. Berasal dari hutan subtropis Meghalya.
  • M. rajaniana
  • M. salicifolia
  • M. scortechinii
  • M. sinensis (syn. M. wilsonii)
  • M. shiluensis
  • M. skinneriana
  • M. sphaerantha
  • M. subulifera
  • M. szechuanica
  • M. xanthantha
  • M. yunnanensis

MANFAAT
  • Minyak dari bunganya sebagai bahan parfum
  • Beberapa spesies juga ditanam sebagai tanaman pembatas jalan seperti M. figo, M. doltsopa dan M. champaca.
  • Mengatasi perut mulas, bau mulut dan juga menghancurkan batu ginjal.


Suku Malvaceae


SUKU MALVACEAE

  1. Penyebaran Suku Malvaceae
Waru – Hibiscus tiliaceus L. merupakan jenis tanaman yang sangat dikenal oleh penduduk Indonesia. Jenis ini biasanya dapat ditemukan dengan mudah karena tersebar luas di daerah tropik dan terutama tumbuh berkelompok di pantai berpasir atau daerah pasang surut. Oleh karena sering ditemukan hidup di tepi pantai maka tanaman ini juga biasanya disebut waru laut.
  1. Ciri-Ciri Suku Malvaceae
Habitus berupa pohon atau perdu, tingginya dapat mencapai 15 m tetapi kadangkala adapula yang dapat mencapai 30 m walaupun itu sangat jarang terjadi.
Daun berbentuk seperti jantung, panjang 10-15 cm, pangkalnya berlekuk dalam, ujungnya meruncing, tepi rata atau beringgit, biasanya terdapat kelenjar pada 1-5 tulang cabang daun di permukaan daun bagian bawah, permukaan atasnya licin, mempunyai bulu-bulu berbentuk bintang pada permukaan daunnya. Daun penumpu besar, berbentuk lonjong atau bundar telur serta meninggalkan lampang (bekas tempat melekatnya) daun penumpu berbentuk cincin yang nyata.
Kelopak tambahan (epicalix) berbentuk seperti piala atau cawan, lebih pendek daripada kelopak sejatinya dan bercuping 8-11. Kelopak sejatinya berbentuk seperti genta, bercuping 5 dan pada permukaan bagian luarnya terdapat kelenjar. Adanya kelopak tambahan (epicalyx) merupakan ciri pembeda yang jelas bagi golongan tanaman ini. Menurut para ahli, waru sangat polimorfik dan sangat bervariasi dalam hal kelopak tambahan, biji serta ada tidaknya rambut-rambut pada biji.

Mahkota bunga pada umumnya berwarna kuning tetapi kadangkala kuning keunguan atau kuning kemerahan, merah, pink,dan putih. dan ukuran panjangnya 5 cm. Benang sarinya berjumlah banyak dengan tangkai sarinya secara bersama-sama membentuk selubung menyerupai tugu (androginofor) yang lebih pendek daripada daun mahkota dan berwana kuning. Tangkai dan kepala putik berwarna ungu. Kepala putik bercuping lima. Daun buahnya berjumlah 5-7.
Biji berbentuk seperti ginjal dan berwarna hitam kecoklatan. Adanya kelopak tambahan (epicalyx) merupakan ciri pembeda yang jelas bagi golongan tanaman ini. Menurut para ahli, waru sangat polimorfik dan sangat bervariasi dalam hal kelopak tambahan, biji serta ada tidaknya rambut-rambut pada biji.
  1. Manfaat Suku Malvaceae
Waru dianjurkan untuk ditanam dalam rangka menghijaukan tanah-tanah yang rawan erosi selain sebagai tanaman pelindung, pagar hidup atau pemecah angin (wind break) di sepanjang tepi pantai. Kebanyakan waru yang ditanam memang untuk diambil kayu dan kulitnya walaupun hampir semua bagian tanaman juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan manusia. Kayunya ringan, lunak, agak padat dan berstruktur halus. Walaupun pada umumnya kayunya diambil oleh penduduk sebagai kayu bakar tetapi berbagai laporan menunjukkan bahwa kayu waru digunakan secara luas untuk berbagai keperluan.
Di Ambon, batangnya yang telah tua dapat dipakai untuk tiang rumah. Kayunya juga dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat kerangka perahu di Minahasa, Bintuhan dan Malaysia. Di sebagian pulau Jawa, kayu waru dinilai tinggi untuk pembuatan kereta dan pedati, selain dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan pembuat gagang kapak. Pada masa penjajahan Belanda, kayunya pernah dipakai untuk pembuatan popor senapan di Surabaya dan Jatinegara.
Serat-serat yang diambil dari batang atau cabangnya dapat dibuat menjadi tali yang sangat kuat dan baik. Di masa lalu, serat waru ini pernah digunakan sebagai bahan pembuatan topi di Surabaya.
Di Semenanjung Melayu, benang dan tali yang dibuat dari serat waru dapat juga digunakan untuk bahan alat pancing atau juga untuk membuat jarring dan tas anyaman. Penduduk Kepulauan Andaman juga biasanya menggunakan benang panjang dari serat waru yang dikaitkan pada harpoon untuk menangkap ikan duyung. Kulit batangnya dapat berguna sebagai bahan pembuat kertas walaupun kadangkala seratnya lebih pendek sehingga kualitas kertas yang dihasilkan kurang bagus.


Di Madura, Malaysia dan Kepulauan Pasifik, daun waru dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak alternatif terutama pada waktu pakan ternak utama sulit didapatkan.Daun waru ini ternyata banyak mengandung karbohidrat dan nitrogen. Selain sebagai pakan ternak, daun mudanya ternyata dapat dimakan sebagai sayuran di Minahasa dan beberapa tempat di Malaysia. Di Jawa, daunnya malah digunakan sebagai pembungkus makanan.
Di Ambon, remasan daun waru yang diusapkan pada bisul ternyata dapat membantu memecahkan bisul tersebut. Air rebusan bunganya juga digunakan untuk mengobati sakit kepala di Cina.
Di Papua New Guinea, rebusan kulit batangnya diminum untuk menyembuhkan radang tenggorokan, radang paru-paru, diare, batuk dan tuberkulosis.
Di Indo Cina, daunnya digunakan sebagai obat pencahar.
Di Filipina, bunganya yang direbus di dalam susu diteteskan pada lubang telinga untuk mengobati sakit telinga. Waru mengandung seskuiterpenoid dan lapakol. Kepala sarinya mengandung gossipetin glukosida, gossipitrin dan gossitrin. Daunnya yang diekstrak dengah etanol juga menunjukkan adanya aktivitas antibakteri untuk membunuh Staphylococcus aureus.
  1. Kelebihan waru
Waru mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat dan sudah dapat mencapai ukuran yang cukup besar dalam jangka waktu 2-3 tahun saja. Waru dapat berbunga sepanjang tahun di Jawa walaupun di bagian Indonesia yang lain masa berbungnya justru terbatas. Bunganya biasanya diserbuki oleh serangga dan burung. Bijinya dapat mengapung di air laut untuk beberapa bulan yang memungkinkan bijinya dapat mencapai daerah persebaran yang luas.



  1. Cerita Suku
  • Waru gunung – Hibiscus tiliaceus L.
subsp. similis (Blume) Borssum Waalkes tidak pernah ditemukan di daerah pantai. Sebaliknya, tanaman ini.biasa ditemukan di pekarangan, pinggir jalan atau dataran tinggi hingga kurang lebih 1.700 m di atas permukaan laut. Pohon waru gunung ini serupa sekali dengan
Pohon waru, perbedaannya hanya terletak pada kelopak tambahannya yang ukurannya kira-kira setengah atau dua pertiga panjang kelopaknya sedangkan pada waru biasanya hanya sepertiga panjang kelopaknya. Cuping kelopak tambahan waru berbentuk segitiga memanjang yang ukuran panjangnya 5-14 mm sedangkan cuping kelopak tambahan waru gunung berbentuk delta yang panjangnya dapat mencapai 2.5 mm. Permukaan atas daun waru mempunyai buku-bulu halus berbentuk bintang bergaris taengah kurang lebih 1/8 mm tetapi pada waru gunung bulu-bulu tadi lebih kasar dengan ukuran ¼-1/2 mm. Perbedaan ciri-ciri tersebut sebenarnya tidaklah terlalu besar dan menonjol sehingga ada ahli yang menganggap waru gunung hanya sebagai varietas saja dari waru. Karena adanya perbedaan habitat atau ekologi serta luasnya daerah persebaran keduanya maka sekarang ini waru gunung lebih cocok dianggap sebagai anak jenis pohon waru. Walaupun demikian adapula ahli-ahli botani lain yang tetap menganggap waru gunung sebagai jenis tersendiri dan terpisah sama sekali dari pohon waru.
  • Waru lot – Thespesia populnea ( L. )
Correa ternyata juga seringkali tumbuh di tepi pantai. Seperti halnya waru maka waru lot juga mempunyai kelopak tambahan,
kelopak dan mahkotanya terdiri atas 5 bagian, benang sarinya bertukal dan membentuk tugu, serta buahnya berupa buah kotak. Selain persamaan-persamaan tersebut, sebenarnya juga terdapat perbedaan-perbedaan yang terlihat nyata pada jenis ini jika dibandingkan dengan waru. Kelopak tambahannya berukuran lebih kecil, terbagi tiga dan cepat gugur sehingga tidak melekat terus seperti halnya pada waru. Kelopak bunga waru lot juga tetap melekat dan bahkan kemudian mengayu. Berbeda dengan kepala putik waru maka kepala putik waru lot tidak bercabang-cabang menjadi lima bagian. Adanya ciri-ciri ini menjadikan waru lot oleh para ahli botani dianggap sebagai jenis yang berdiri sendiri.Kerabat dekat waru yang dapat kita jumpai dengan mudah di sekitar kita adalah
  • kembang sepatu atau wora-wari – Hibiscus rosa-sinensis L.
Disebut kembang sepatu. karena bunganya dapat digosokkan pada sepatu sebagai pengganti semir dan akan memberikan warna hitam yang mengkilap. Keindahan bentuk dan warna bunganya juga menjadikan kembang sepatu banyak diminati dan kemudian dibudidayakan di hampir seluruh belahan dunia sebagai tanaman hias, baik di daerah tropik maupun subtropik. Asalnya belum jelas tetapi ada dugaan bahwa jenis tanaman ini berasal dari Cina.
Kembang sepatu juga telah lama dibudidayakan di Cina,
Jepang, India dan Kepulauan Pasifik.
Perawakannya berupa perdu tegak, bercabang banyak yang gundul, tingginya 1-4 m. Daunnya tungal, tersusun spiral, berbentuk bundar telur, panjang 7-12 cm, tepi daun bergerigi, ujung daun meruncing, permukaan atasnya mengkilap, pertulangan daunnya biasanya menjari. Rambut-rambut kelenjar yang lekat di tangan ketika disentuh biasanya juga ada di permukaan daun bagian bawah. Domatia tidak dapat ditemukan pada permukaan daun bagian bawah. Daun penumpu berbentuk pita. Bagian-bagian bunga lebih banyak terbagi 5, simetri bunganya aktinomorf dan kelamin bunganya banci.
Kelopak berbentuk lonceng dengan daun-daun kelopak selalu berlekatan. Seperti halnya waru, kembang sepatu juga mempunyai kelopak tambahan yang terdiri atas 7-9 cuping yang berbentuk memanjang. Daun-daun mahkotanya selalu berlepasan, umumnya berwarna merah tetapi kadangkala oranye atau putih. Androginofor berwarna merah dan panjangnya melebihi daun mahkota. Kepala sarinya berwarna kuning, berbentuk seperti ginjal dan pecah melalui celah memanjang. Kepala putiknya bercuping 5 dan berwarna merah sedangkan bakal buahnya selalu terletak menumpang. Daun buahnya umumnya berjumlah 5.
Selain sebagai tanaman hias, kembang sepatu juga dapat digunakan sebagai tanaman obat. Orang Melayu biasa menggunakan akar kembang sepatu yang ditumbuk dan dicampur dengan air untuk membantu menurunkan panas demam. Di Kelantan, rebusan akarnya juga dapat digunakan sebagai penawar racun. Di Papua New Guinea, akarnya yang dicuci dan kemudian dikunyah ternyata dapat menyembuhkan diare. Daun-daun yang ditumbuk dan diusapkan pada bisul ternyata dapat melunakkannya. Air perasan daun kembang sepatu dan waru biasa digunakan secara tradisional oleh para dukun di Indonesia untuk melancarkan kelahiran bayi. Di Papua New Guine dan Fiji, air perasan daunnya diminum untk mengobati sakit perut. Di Sulawesi Utara, daun dan bunga yang dilumatkan dapat dipakai sebagai tapal terhadap borok dan bisul. Air rebusan daun, bunga atau bijinya dapat juga digunakan sebagai obat pereda penyakit kencing nanah di Semenanjung Melayu.
Di Ambon, bunganya – terutama kuncup bunga – yang dilumatkan dan dicampur dengan cuka dapat dimanfaatkan untuk melancarkan haid walaupun kadangkala dapat menyebabkan keguguran. Bunganya bahkan digunakan sebagai salah satu bahan kontrasepsi di India. Di Yogyakarta dan Surakarta, bunga yang direbus dengan santan dan dibubuhi gula merupakan obat batuk tradisional. Air rebusan bunganya juga dapat digunakan sebagai obat sariawan dan pelancar dahak pada penyakit bronkitis di Malaysia. Di India, air perasan bunganya dipercaya dapat meningkatkan pertumbuhan rambut sehingga biasa digunakan sebagai sampo sedangkan air perasan mahkota bunganya dapat digunakan untuk menghitamkan kelopak mata di Cina dan India.
Kayunya dapat menghasilkan bahan serat yang baik tetapi karena pertumbuhannya yang terbatas dan perawakannya yang kecil maka kembang sepatu ini tidak serasi untuk dijadikan sebagai tanaman serat. Bunganya yang mengandung flavonoid dan antosianin (hibisetin, sianidin diglukosida dan asidik polisakarida) juga dapat dimanfaatkan sebagai pewarna makanan.
Perbanyakan kembang sepatu kebanyakan dilakukan dengan setek karena tanaman ini sukar menghasilkan biji. Kembang sepatu merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat dengan mudah melakukan penyerbukan silang dengan kerabatnya sehingga dapat menghasilkan turunan hibrid. Hibrid-hibrid ini sangat bervariasi terutama pada warna mahkota bunganya yang dapat merah menyala, merah daging, merah jambu, jingga atau kuning yang timbul akibat campur tangan manusia yang selalu berusaha untuk menghasilkan kultivar-kultivar baru.

  • Kembang lampu – Hibiscus schizopetalus
Terhitung masih kerabat dekat kembang sepatu. Perawakan, bentuk dan ukuran daun serta susunan bagian-bagian bunganya sangat mirip dengan kembang sepatu sehingga tidak mengherankan jika keduanya kadangkala dianggap sebagai satu jenis. Jika diteliti lebih lanjut maka sebenarnya akan terlihat adanya perbedaan-perbedaan yang mantap di antara kedua tanaman tersebut. Panjang tangkai bunga kembang sepatu hanya dapat mencapai 7 cm sedangkan tangkai bunga kembang lampu dapat mencapai 8-16 cm. Oleh karena itu letak bunga kembang sepatu biasanya mendatar, agak tegak atau sedikit condong sedangkan bunga kembang lampu pada umumnya menggantung pada tangkainya yang panjang tersebut. Panjang kelopak tambahan pada kembang sepatu dapat mencapai 5-8 mm sedangkan pada kembang lampu hanya dapat mencapai 1-2 mm. Tepi daun mahkota kembang lampu bercangap sedangkan tepi daun mahkota kembang sepatu selalu rata.



Bentuk mahkota bunga kembang sepatu pada umumnya agak lurus sehingga sepintas lalu mahkotanya menyerupai corong bermulut lebar. Sebaliknya, mahkota kembang lampu membengkok nyata ke arah belakng sehingga bentuknya menyerupai topi yang tepinya melengkung ke atas. Dalam keadaan liarnya di alam, secara normal bentuk-bentuk antara yang menghubungkan kembang sepatu dan kembang lampu tidak dapat ditemukan. Hal ini tidaklah mengherankan karena kembang lampu berasal dari Afrika Timur sehingga daerah persebarannya berlainan dengan kembang sepatu. Ciri-ciri yang memisahkan kembang sepatu dari kembang lampu tadi bersifat mantap sehingga para ahli botani bersepakat untuk menempatkan keduanya sebagai dua jenis tanaman yang berbeda.
  1. Jenis Malvaceae
Suku Malvaceae mewadahi 204 marga dan 2330 jenis. Beberapa marga anggota suku ini yang cukup penting diantaranya
  • Abutilon (100 jenis),
  • Sida (180 jenis),
  • Gossypium (40 jenis),
  • suku durian-durianan (Bombacaceae),
  • kepuh-kepuhan (Sterculiaceae),
  • walikukun-walikukunan (Tiliaceae)
pada umumnya disatukan dalam bangsa Malvales. Malvaceae dibedakan dari Bombacaceae karena mempunyai pertulangan daun yang biasanya seringkali menjari serta adanya kelopak tambahan. Malvaceae berbeda dengan Sterculiaceae dan Tiliaceae dalam hal adanya androginofor dan benangsarinya berjumlah lebih banyak. Bunga anggota suku Malvaceae biasanya berwarna cerah sehingga dapat menarik perhatian lebah, semut, lalat, ngengat, burung dan kelelawar yang kemudian ikut membentuk proses penyerbukannya. Kelenjar nektar dihasilkan oleh permukaan daun-daun kelopaknya sehingga terasa agak lengket ketika disentuh dengan tangan.